Senin, 31 Oktober 2011

KONFLIK ORGANISASI

Dengan demikian, kunci dari model Robbins adalah bagaimana mengusahakan agar konflik berada pada situasi optimal, sehingga konflik tersebut dapat mencegah kemacetan, merngsang kreativitas, melepaskan ketegangan, dan memprakarsai benih-benih perubahan. Selanjutnya, Robbins menjelaskan bahwa konflik itu baik bagi organisasi jika:
1.      Merupakan suatu alat untuk melakukan perubahan.
2.      Mempermudah terjadinya keterpaduan (cohesiveness) kelompok;
3.      Memperbaiki keefektifa kelompok dan organisasi;
4.      Menimbulkan tingkat ketegangan yang sedikit lebih tinggi dan lebih konstruktif.

Tingkat konflik yang tidak memadai (terlalu rendah) atau terlalu berlebihan (konflik tinggi) dapat merintangi keefektifan organisasi untuk mencapai kualitas pelayana publik yang tinggi. Kedua situasi ektrem ini dapat menimbulkan sikap-sikap aparat yang apatis, absenteisme tinggi, bekerja seadanya, tidak empati terhadap pengguna jasa, dan sebagainya; yang pada akhirnya akan memperendah kualitas pelayananmereka pada publik. Untuk itulah, diperlukansuatu keahlian untuk mengelola konflik dari setiap pimpinan organisasi publik penggunaan berbagai teknik pemecahan dan motivasi untuk mencapai tingkat konflik yang diinginkan disebut sebagai manajemen konflik.


KONFLIK ORGANISASI

Jika dalam organisasi tingkat konfliknya rendah atau tidak ada konflik sama sekali (situasi A), tipe konfliknya adalah disfungsional, hal ini ditandai oleh karakteristik organisasi tersebut yng apatis, macet (stagnan), tidak responsif terhadap perubahan, dan kekurangan ide-idebaru. Situasi ini mengakibatkan kualitas pelayanan publik menjadi rendah. Hal ini sama akibatnya jika terjadi konflik yang tinggi dalam organisasi, seperti pada situasi C.
Keadaan yang diharapkan adalah sebagaimana dalam situasi B, yaitu tercapai suatu konflik optimal yang fungsional, yang ditandai oleh ciri-ciri organisasional yang viable, self-critical, dan innovative. Situasi ini menjadikan organisasi mencapai kualitas pelayanan publik yabg tinggi.

KONFLIK ORGANISASI



Tabel
Situasi
Tinkat konflik
Tipe konflikmorganisasi internal
Karakteristik
Kualitas layanan
A
Rendah/tidak ada konflik
Disfungsional
·         Apatis;
·         Stagnan;
·         Tidak responsif terhadap perubahan;
·         Kekurangan ide-ide baru.
Rendah
B
Optimal
Fungsional
·         Hidup (viable);
·         Kritis-diri (self-critical);
·         Inovatif.
Tinggi
C
Tinggi
Disfungsional
·         Mengganggu (disruptive);
·         Kacau balau (chaotic);
·         Tidak kopeatif.
Rendah

KONFLIK ORGANISASI

         Setiap pimpinan suatu institusi publik menghendaki agar tercapai suatu pelayanan jasa yang unggul (service excellence), yaitu sikap atau cara karyawan dalam melayani masyarakat pelanggan secara memuaskan. Menurut Kotler (1997), terdapat lima faktor determinan yang menentukan kualitas layanan yang diberikan, yaitu:
1.      Keandalan, kemampuan untuk memberika jasa yang dijanjikan tepat pada waktunya;
2.      Responsif, kemuan untuk membantu pelanggan dan memberikan jasa dengan cepat;
3.      Keyakinan, kemampuan untuk menimbulkan kepercayaan pada diri pelanggang melalui perilaku ramah dan sopan;
4.      Empati, kepedulian atau kemampuan untuk memberikan perhatian pribadi pada pelanggan;
5.      Berwujud, mengacu pada fasilitas fisik, yaitu kemampuan menyediakan peralatan, personal, dan media komunikasi yang dibutuhkan pelanggan.

Dalam mengnalisis keterkaitan antara konflik dalam organisasi dn kualitas pelayanan publik, kita menganggap bahwa service excellence atau kualitas pelayann publik yang unggu merupakan suatu tingkatan kinerja yang “tinggi” yang diharapkan dicapai dalam interaksi antara aparatur dan publik. Hal ini dapat dicapai jika sejumlah faktor determinan yang telah disebut diatas dapat dipenuhi dalam proses interaksi itu.
Untuk keperluan analisis, dalam model yang membahas  keterkaitan antara konflik dan kinerja (performance) suatu unit kerja atau suatu instansi, kami akan menyubsitusikan kinerja dengan kualitas layanan. Model yang akan dibahas bersumber dari Robbins (1996). Ia menggambarkan hubungan antara konflik dan kinerja dalam suatu kurva normal yang memperlihatkan adanya tiga situasi yang disimbolkan dengan A, B, dan C. Sumbu vertikal dari kurva adalah kinerja, sedangkan sumbu horizontalnya adalah tingkat konflik. Situasi A menunjukan tingkat konflik yang rendah atau tidak ada konflik, situasi B menggambarkan konflik berada pada kondisi optimal, dan situasi C memperlihatkan tingkatan konflik yang tinggi. Ketiga situasi ini dapat dilihat dalam tabel berikut ini.

Senin, 10 Oktober 2011

KONFLIK ORGANISASI

E. Konflik dan Kaitannya dengan Kualitas Pelayanan Organisasi
Manajemen pelayanan publik dalam organisasi publik (pemerintah) umumnya memberikan layanan berupa jasa yang memiliki karakteristik, yaitu tidak nyata (intangible), tidak terpisahkan (inseparable), tidak dapat disimpan (perishable), dan bervariasi (variabel). Ciri-ciri seperti ini sering menyulitkan manajemen (umumnya para birokrat) untuk menentukan indikator kualitas pelayanan yang diberikan. Artinya, apakah pelayanan publik yang diberikan selama ini telah memuaskan mereka atau tidak. Hal ini berbeda dengan pelayanan pada organisasi bisnis yang mentransaksikan barang yang secara fisik tampak, dan konsumen dapat secara langsung menyatakan kesukaan atau ketidaksukaannya. Oleh karena itu, dalam organisasi publik, kualitas layanan sangat ditentukan olehh interaksi antara pemberi layanan (aparatur pemerintah) dan pengguna layanan (masyarakat). Aparatur memiliki tingkatan kinerja tertentu dalam memberikan layanan, sedangkan masyarakat memiliki ekspektasi tentang kualitas layanan yang diinginkan.
            Kualitas layanan dengan demikian, didefinisikan sebagai hasil persepsi dari perbandingan antara harapan pelanggan (penerima layanan) dengan kinerja aktual pemberi layanan. Drai pengertian ini terdapat dua unsur utama dalam kualitas pelayanan, yaitu expected service (layanan yang diinginkan) dan perceived service (layanan yang dirasakan). Apabila layanan yang diterima atau dirasakan sesuai dengan yang diharapkan, kualitas layanan yang dipersepsikan akan baik dan memuaskan. Jika layanan yang diterima melampaui harapan pelanggan, kualitas layanan dipersepsikan sebagai kualitas ideal. Sebaliknya, jika kualitas layanan yang diterima lebih rendah, kualitas layanan akan dipersepsikan buruk atau tidak memuaskan (Gronroos, et.al., 1997).